Oleh: Ahmad Munir, Pengurus LTN PWNU DIY
Tak ada deretan profesor dan doktor. Yang muncul justru para kiai sepuh ‘alim dari kalangan pesantren yang kesehariannya bergelut dengan kesahajaannya. Lalu, apa rahasia sehingga beliau-beliau mampu membidani lahirnya organisasi terbesar sekaligus merawatnya? Jawabannya tentu sangat beragam, dari yang sederhana hingga yang ilmiah penuh analisa.
Tetapi, mari kita simak penggalan pidato Kiai Ali Ma’shum tatkala dibaiat sebagai Rais ‘Am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di tahun 1981. Beliau menyatakan:
“Wahai kawan-kawanku. Senyatanya sungguh kami tidak mampu mengatakan sesuatu kecuali memohon kepada Allah agar Dia memberikan anugerah kepada kami dan saudara-saudara sekalian berupa kejujuran berbicara dan keikhlasan beramal.” (Dikutip dari buku KH. Ali Ma’shum: Perjuangan dan Pemikiran-pemikirannya karya A. Zuhdi Mukhdlor).
Kalimat pembuka yang sederhana. Tetapi, ungkapan “kejujuran berbicara dan keikhlasan beramal” (Ash-Shidqu fi al-Qoul wa al-ikhlash fi al-’amal) yang disampaikan oleh Kiai Ali perlu kita garisbawahi. Sebab, kalimat tersebut merupakan bekal dalam menjalankan roda organisasi semacam NU.
Di tengah kegaduhan internal NU masa itu, seolah Kiai Ali ingin mengajak kembali ke semangat awal bagaimana para muassis NU mendirikannya. Kiai Ali ingin menyentuh batin yang mengeras dalam kotak-kotak kepentingan. Beliau berharap tetesan sederhana melalui ungkapan yang sahaja itu mampu meluruhkan ego dan menyatukan semangat yang sempat hilang di kalangan NU.
Kejujuran yang disampaikan oleh para ulama dan keikhlasan dalam menjalankan roda organisasi telah menuai hasilnya hingga kini. Kebesaran NU tidak semata campur tangan ahli administrasi dan pengurus yang organisatoris an sich, tetapi lebih melibatkan kejujuran dan keikhlasan para kiai. Keikhlasan berjuang melalui organisasi NU.
Di tengah membludaknya sumber daya yang kita miliki dan untuk menjalankan tata kelola organisasi modern pun dipandang cukup, maka kadang ada sesuatu yang hilang yakni ruh perjuangan sebagaimana yang diwejangkan oleh Kiai Ali.
Tentu, kita tidak boleh abai terhadap peningkatan sumberdaya manusia sebagai basis penguatan organisasi. Tetapi, semangat yang didengungkan para kiai sepuh itu selayaknya dijadikan ruh perjuangan ini. Sehingga organisasi ini berjalan dengan tertata rapi melalui sumberdaya yang mumpuni, sekaligus berkekuatan dengan ruh dan semangat yang ditanamkan itu.
Kalau kita membaca sejarah perjalanan NU dari masa ke masa, akan terbetik trenyuh dalam batin merasakan perjuangan para kiai kita. Betapa keikhlasan perjuangan beliau-beliau itu telah melampaui teori organisasi modern. Berjuang dan menggerakkan organisasi dengan jiwa.
Bagaimana semangat dan kealiman Mbah Hasyim, kegigihan Mbah Chasbullah, hingga coretan tinta Kiai Ridwan yang mengabadi dalam lambang NU dan, tentu, deretan kiai yang berjuang dengan lini masing-masing. Semuanya dijalankan dengan kejujuran dan keikhlasan. Tak ada motif dan tendensi yang aneh-aneh. Tetapi, ruh yang beliau-beliau hembuskan dengan titis mampu menggerakkan sisi-sisi organisasi itu.
Tentu, kita tidak bisa berandai-andai bahwa beliau akan kembali ke organisasi ini layaknya awal berdiri. Juga, tak mungkin kita menemukan sosok yang sama dalam satu tokoh era kini. Hanya saja, potensi dari sekian kalangan, dari sekian kiai jika digabung akan mendekati satu sosok. Basis akademik yang mumpuni disandingkan dengan kesahajaan dalam tauladan para kiai sepuh sungguh akan menghasilkan sesuatu yang luar biasa. Dan, itu sangat penting. Semangat yang ditauladankan masih kita cercap dalam setiap gerak menjalankan roda organisasi.